flaming text

Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

cursor

Adventure Time - Finn 3

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Thursday, November 23, 2017

Kisah Cinta Seorang Santri

Kisah Cinta Seorang Santri Ku biarkan jemari lentik ku menari-nari diatas keyboard notebook putih ini, kubiarkan ia terus menari, hingga bait-bait tulisan yang bukan puisi ini bercerita tentang sesuatu yang belum pernah kuceritakan dan ku adukan selain pada tuhan, kisah tentang sepenggal kehidupan yang tak pernah terlupakan, dan ku rasa dapat menjadi pelajaran untuk melangkahkan kaki menuju masa depan. Mungkin kisah ini takkan kau temukan dalam sekian banyak kisah yang diceritakan dalam novel-novel ataupun cerita roman, karena aku yakin belum terlintas dalam imajinasi penulis manapun kejadian yang kualami dan akan ku ceritakan pada lembaran-lembaran kertas ini padamu, tak banyak yang spesial dari kisahku ini, dan kalaupun bukan karena permintaanmu kawan, aku tak akan menuliskannya kedalam rangkaian-rangkaian kalimat luguku ini. Semoga kau bisa mengerti dan memahami apa yang ada dan kurasa dalam hatiku, kau bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi dibalik sepenggal sandiwara kehidupan cinta ku ini. Sesi yang paling ramai dalam panggung pertunjukan kehidupan kita tak lain dan tak bukan adalah sesi pertunjukan hati, tetapi bukan di luarnya, tetapi malah didalamnyalah yang paling ramai, karena hanya dalam hatilah cinta manusia tersimpan, dan hanya didalam hatilah cinta laila dan majnun bisa bersemayam, disitu pula lah Aku dan Dia merajut keindahan, mewarnai sesi kehidupan yang tak berwarna, mengindahkan yang sama sekali tak indah dan menyatukan dua sesuatu yang sama sekali berbeda. Kawan, kan kuceritakan sesi kehidupan yang paling mendebarkan, membahagiakan, sampai menyedihkan dengan kesedihan yang amat sangat dalam. Kuawali dengan cerita pertemuanku dengan Aya sampai ahirnya nanti kita ahiri kisah indah kita yang telah terjalin selama tiga tahun dengan sangat menyakitkan. Lalu kan ku ceritakan pula ada apa sebenarnya antara aku dan Ima, gadis yang selama ini belum kau ketahui statusnya dalam hidupku ku. Kuawali kisah ini dengan sepenggal harapan yang kutitipkan padaNya, karena hanya Dialah yang pantas menjadi tempat berharap, sepenggal harapan yang tersimpan dalam dasar relung hati, hati yang pernah terlukai: Semoga Tuhan kan tunjukan jalan kebenaran menuju cinta-Nya yang Suci nan sejati. # Akar Sebuah Keindahan Semenjak lulus dari sekolah dasar, kedua orang tuaku sudah menawariku dua tempat yang tak dekat dari gubuk tempat tinggalku untuk dijadikan tempat untuk menuntut ilmu, dua tempat yang Ayah dan Ibu tawarkan untuk ku adalah keduanya sama-sama Pondok Pesantren, selain karena ayah dan ibu Santri tulen, sudah menjadi adat dalam keluargaku untuk meninggalkan kampung halaman seusai sekolah dasar dan mengembara ke dunia luar untuk ngangsu kaweruh di Ndalem-nya para Kiai. Tempat yang petama yang Ayah tawarkan untuk ku adalah tak samar lagi, Pon Pes Lirboyo yang berada di Kediri di Jawa Timur sana, alasanya pun tak diragukan, selain ayahku pernah menimba imu disana selama belasan tahun, juga karena dari kedelapan adik ayah, hanya satu yang memilih untuk mesantren di pondok lain, tapi masih tetap di kawasan Jawa Timur. Dan pilihan yang kedua adalah sebuah pesantren yang konon katanya terbesar di Jawa Tengah, kata ibuku luasnya sekitar enam hektar, ketika Ibuku bercerita tentang pesantren yang satu ini, aku tak bisa menahan kepalaku untuk tidak menggeleng-geleng takjub, kata ibuku pesantren yang satu ini juga sangat komplit fasilitas pendidikannya. Sebenarnya aku sendiri pernah berkunjung ke pesantren yang berada dikaki Gunung Slamet ini, namun saat itu usia kumasih terlalu belia untuk bisa merekam apa saja yang ku lihat, di pesantren itu pulalah Mbak ku pernah menimba ilmu, mamun sayang hanya bertahan satu minggu, karena tak betah, ahirnya dia pindah, pesantren yang –lagi-lagi— kata ibuku asri itu adalah Pesantren Al-Hikmah 2, berdiri bangunan-bangunan megahnya diatas tanah desa Benda Kecamatan Sirampog Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Ayahku lebih menyerahkan pilihannya padaku, sedangkan ibuku lebih menganjurkan aku untuk tabarukan dan menimba ilmunya Mbah Yai Masruri Abdul Mughni, pengasuh dan Murabbi pesantren Al-Hikmah 2, ibuku belum tega melepaskan aku kecil untuk melancong jauh ke Jawa Timur, ditambah lagi salah satu dari adik ayahku waktu itu berdomisili tak jauh dari komplek Ponpes Al-Hikmah 2, karena pamanku yang juga adik pertama ayahku itu baru saja menikah dengan putri Mbah Yai Masruri beberapa tahun yang lalu, ibuku lebih sreg menitipkan aku ke asuhan Mbah Yai dengan pengawasan langsung dari pamanku, disamping itu juga jaraknya relatif jauh lebih dekat, Jawa Tengah. Pilihan terahir tetap ditangan ku, karena aku terpikat dengan keterangan ibuku tentang pesantren Al-Hikmah 2, dan hati kecilku juga mantap untuk menjatuhkan pilihan pada anjuran ibunda, maka kupilih opsi yang kedua. Itulah detik-detik menentukan awal dari kesedihan juga awal kebahagiaan, kawan aku yakin kau juga pastinya punya cerita sendiri bukan?, bagaimana detik-detik penentuan itu diputuskan?? Setibanya di Pesantren yang sudah menjadi pilihanku ini, perasaan ku mulai berubah, perasaan yang sedari tadi berbunga-bunga karena bahagia bisa melanjutkan pendidikan menengah di daerah baru yang masih asing bagiku tiba-tiba perasaan itu lenyap tak tersisa, semuanya berbalik seratus delapan puluh derajat bak kalimat pernyataan yang dibubuhi lambang negasi, semua itu aku rasa setelah aku sadari bahwa aku akan tak lagi bersama-sama dengan ayah dan ibuku tercinta, aku akan hidup jauh dari mereka, aku akan ditinggalkannya sendiri ditempat asing yang jauh sama sekali dengan kedua orang tuaku, kuadukan perasaan itu pada ibuku, dan ibu hanya bilang, “Sabar ya nak, bagaimanapun juga ujian orang dipesantren itu sama, yang pertama pasti jauh dari orang tua, selain itu, kamu juga harus belajar mandiri, semuanya demi kebaikanmu nanti, terus walaupun Umi dan Abi jauh, tapi Allah akan selalu dekat dengan mu”, nasehat itu cukup menennangkan hatiku, walau rasa gundah itu masih sedikit menyelimuti hati yang rapuh ini. Sebelum Ayah dan Ibuku meninggalkankan ku, dengan dihantar oleh paman dan bibiku, terlebih dahulu sowan ke ndalem Mbah Yai, setelah Abi berbincang panjang lebar dengan Mbah yai, dan Ibu dengan Umi Wiwi, tiba-tiba sebelum kami pamitan Umi Wiwi mengajukan usulan, “nanti Aab tinggalnya di GOR saja dikamar belakang dengan Kang Zein, soalnya kalo di Al-Hasan takut nanti ngga betah”, ujar Umi Wiwi, aku yang saat itu belum tahu apa-apa hanya menuruti perkataan Umi Wiwi, begitupun dengan orang tuaku, tanpa interupsi, mereka berdua setuju. Ternyata, kamar Gor yang disebut Umi wiwi tadi adalah sebuah kamar yang lumayan besar, kamar yang berkuran sekitar 7x8m itu adalah tempat menginap para abdi dalem dan ustad yang mengajar dan mengampu program tahfidz di Al-Hikmah 2. Dan Kang Zein adalah salah satu abdi dalem senior yang menempat disitu dan bertugas di ndalem Mbah Yai, jadi wajar saja kalau Umi Wiwi dan Mbah Yai sendiri begitu akrab dengannya. Dikamar itulah aku merasakan lika-liku perjalanan menjadi santri baru, susah, sedih, rindu ayah ibu, tak betah dan galauuu perasaan lain yang tak jauh beda. Saat beberapa hari pertamaku di pesantren, kerap kali mata ini basah ketika kedua tangan ini ku tengadahkan meminta petunjuk dan ampunan Tuhan. Tak jarang ku bangun malam, bergegas ke kamar mandi, menagmbil air wudlu, sholat dan lalu menenang hati dengan melantunkan ayat demi ayat firman Tuhan, karena seperti yang di pesankan ayah, “bacalah Al-Qur’an agar hatimu menjadi tenang”. Saat-saat itu pulalah aku sering menyendiri di lantai dua gedung aliyah belakang Gor yang belum sempurna pembangunannya, sering disitu ku luapkan uangkapan hatiku kedalam bait bait puisi atau hanya sekedar catatan tak berisi. Rasa-rasa yang sedang kurasakan itu sedikit terobati dengan kehadiran Kang Misbah, seorang ustad yang mengampu siswa penghafal Al-Quran, tentunya karena beliau juga hafal Al-Quran tiga puluh juz, Kang Misbah, ia selalu menghibur aku disaat aku terlihat sedih, ia memperlakukan aku layaknya adik kandungnya sendiri, ia juga sering sekali mengajakku jalan-jalan dengan motor butut andalannya, dengan kehadirannya, hatiku agak sedikit tenang. Ditambah lagi dengan kang Zein yang super ramah, disamping itu ia pandai melucu, pandai menghibur hatiku. Kini rasa-rasa yang kurasakan itu sedikit hilang. Usai rangkaian agenda MOS beres, sekolah beberapa hari kemudian mulai aktif. Namun nampaknya ada yang berbeda pada Sekolah Menengah Pertama yang kupilih sebagai tempat belajarku, SMP yang letaknya tak jauh dari kamarku ini menyediakan beberapa kegiatan ekstra yang disebut Spesifikasi, dan ketika mendaftar aku jatuhkan pilihanku pada spesifikasi Bahasa Inggris, selain bahasa Inggris ada dua spesifikasi lainya, yaitu matematika dan komputer. Ketika masuk sekolah dan bertemu dengan teman-teman baru yang berasal dari berbagai penjuru Indonesia, aku mulai menyadari bahwa pesantren adalah tempat yang asyik untuk menimba ilmu. Minggu ini adalah minggu pertama aku memasuki kelas spesifikasi, waktu itu jumlah putra lebih jauh sedikit dari putri, pertama kali aku duduk di barisan bangku paling depan, karena sewaktu sekolah dasar dulu aku memang selalu duduk di barisan paling depan, tutor bahasa inggris kami masih muda, pembawaannya kalem dan cool, sangat care dengan anak-anak didiknya, ia sebenarnya masih menempuh pendidikan tingginya di kampus yang lumayan jauh dari tempat tinggalnya, tapi sebelumnya ia sudah beberapa lama mengikuti kursus bahasa inggris di kampung Inggris pare kediri jawa timur, aku sudah mulai menyukai cara mengajar Pak Rosyid sejak pertemuan pertama, benarlah kata pepatah, “kesan pertama sealalu menggoda”. Walau rasa ingin kembali pulang dan tak betah sudah sedikit terkurangi, tetapi terkadang masih saja rasa itu membuntutiku saat aku terkurung dalam kesendirian. Hari berlalu dan terganti, menunjukan waktu terus berjalan dan umur terus berkurang. Ngaji, sekolah dan spesifikasi (dua kali dalan tujuh hari), dari situlah aku sedikit demi sedikit menambah ilmu pengetahuan yang sebelumnya belum pernah kudapatkan. Tetkala mentari sudah condong kebarat pada suatu hari, aku dan beberapa kawan melangkahkan kaki menuju gedung berlantai dua yang bertuliskan didepannya SMP Al-Hikmah, seperti biasanya pada hari Rabu sepulang sekolah kita harus mengikuti kelas spesifikasi Pak Rosyid, hari itu adalah ulangan yang pertama kali Pak Rosyid adakan setelah sekian lama ia mengajari kami berbagai macam materi. Tetkala sedang asyik mengerjakan soal, karena sedikit ketledoranku, ada beberapa kalimat yang ku tulis keliru, kulihat kanan kiri depan dan tak kebelakang, karena pada waktu itu aku lah yang duduk paling belakang, disebabkan kedatanganku sedikit lebih telat, kulihat di barisan yang paling depan meja putri sebelah kanan, kudapati disana sesuatu yang sedang ku cari; Tipe-X. Ku panggil si empunya tipe-X itu dengan bisikan, tentunya agar tak menggangu yang lain yang sedang khusu mengerjakan soal, “Ssssttttt mba, pinjem tipe-X nya ”, bisikku padanya, setelah mendengar bisikan ku, ia palingkan pandangannya dari kertas soal, lalu ia balikkan badannya dan mengarahkan pandangannya kepada ku, sambil mengulurkan Tipe-X yang ia pegang, ia berkata ”ini !”, dengan nada judes, hatiku bergumam,”judes amat nih cewe”, “lempar aja”, kataku, “nanti kalo kena gimana, nih ambil aja”, masih dengan nada judes yang agak berbeda dengan yang pertama, karena aku membutuhkan tipe-X itu, mau atau tidak aku harus mengambilnya. Setelah ku pakai, sebelum dikembalikan, tak sengaja kubaca tulisan yang berada ditutup tipe-X merah itu, yang sepertinya itu nama pemiliknya, Aya. Entah kenapa malam itu wajahnya hiasi langit-langit kamarku sebelum tidur, suaranya yang sedikit agak judes menjadi pelengkap bayang-bayang wajahnya pada malam itu, aku tak bisa memejamkan mata, saat ku kembali mencoba memejamkan mata, lagi-lagi yang terlihat hanya bayanganya, “aaah apa yang sebenarnya terjadi pada diriku?”. Teruslah berganti hari-hari pada masa itu, dan akupun tak kuasa berbuat apa-apa, apalagi berusaha untuk menghentikannya, tak mungkin lah ku rasa. Semenjak pertemuan pertama dengannya itu, aku tak tahu apa yang kurasakan ketika aku berpapasan dengannya ataupun hanya sekedar melihatnya saja, dia memiliki sesuatu yang tak ku temukan pada diriku, dan aku memiliki sesuatu yang tak ku temukan pada dirinya. Hatiku tentram dan berbunga-bunga saat ku berada agak sedikit dekat saja dengannya, dan sebaliknya, gusar dan gundah saat aku tak bertemu lama dengannya, saat aku tak lagi menatap wajah manisnya. Aku masih tak mengerti jua, apakah itu juga yang dinamakan dinamika benih-benih cinta saat pertama kali tumbuh?, biarlah kau mengertikannya sendiri kawan. Ada seorang teman dekat Aya yang juga kenal dekat dengan ku, Ani namanya, aku bisa kenal dengan Ani karena memang saudara sepupu Ani adalah teman karibku, dia asli betawi, ayahnya bernama seperti nama presiden kedua Indonesia, Suharto, ia sering kali menuliskan namanya di buku-buku pelajarannya dengan membawa nama ayahnya; Bagus Bin Suharto, “biar keren”, katanya. Selasa itu Pak Rosyid berhalangan hadir, entah tak tahu kenapa, karena biasanya beliau selalu aktif dan tak pernah bolos ngajar, inilah kali pertama beliau tak mengisi kelas, tapi kami yakin, beliau bukan bolos tanpa alasan, karena itu bukan tabiat beliau, jadilah ahirnya siswa-siswi spesifikasi berhamburan tak karuan, ada yang langsung pulang ke kamar, ada juga yang masih di kelas, aku dan salah satu temanku, kabil adalah salah dua siswa yang masih tetap dikelas, tiba-tiba ketika kita baru akan melangkahkan kaki keluar kelas, Si Ani memanggil-manggil namaku, “Ab”, Panggilnya, kubalikkan badan, dengan reflek aku bertanya, “ada apa An?, what can I help to you?”, “ngga papa, nanti abis ini kamu kedepan masjid ya?”, “ emangnya ada apa?” “udah nanti kesana aja”, sambil sedikit berbisik ia menambahi “sama Si Kabul ya”, “oke deh!”, balasku mantap Ku hampiri Kabil yang sedari tadi menungguku di luar pintu, sambil berjalan menuju gerbang sekolah, “Bil, tadi Si Ani ngajakin ketemu di depan masjid” “emang ada apaan Ab?” “ngga tahu tuh, udah deh kita kesana aja” “yo wis”, ujar Kabil menutup pembicaraan. Tanpa babibu lagi aku dan kabul meluncur ke depan masjid yang berada di belakang sekolah dengan diliputi rasa penasaran. Sudah berdiri didepan masjid dua santri putri yang wajahnya tak asing lagi, terlihat Ani dan Aya sudah menunggu kami disana, “Ada apa An?”, tanyaku penasaran “Ngga papa sih aku Cuma mau ngasiin ini ke kabul”, jawab Ani sambil mengulurkan secarik kertas “Owh cuma gitu doang?” “itu tuh Ab, si Aya katanya naksir kamu”, ujar Ani sambil tertawa mengejek Aya yang tepat berdiri disampingnya, setelah mendengar perkataan Ani tadi, aya langsung membantahnya dengan nada sedikit tinggi, salting plus grogi, “ngga kok, ngga , itu Si Ani aja yang suka ama kabil” Aku dan Kabil hanya tersenyum mendengar percakapan merek berdua, sambil berharap apa yang dikatakan Ani adalah benar. Sebenarnya aku sudah tak ingin lagi untuk mengenang kisah indah ini kawan, kau tahu kenapa, karena kau akan tahu sendiri setelah membaca judul setelah ini, betapa, betapa sakit yang kurasa. Beberapa waktu setelah pertemuan itu, Aya meminta nomor Hape yang bisa dihubugi, dan tanpa ragu kuberi saja nomor kang Misbah, Ustad yang juga sahabat karibku. Semenjak saat itulah kita sering berkomunikasi, terkadang pada saat liburan hari jumat Aya menelpon dari wartel ke nomor yang sudah kuberikan padanya itu, dan kebetulan saat hari jumat tiba, kang Misbah pasti berada di kamar bersamaku. Ya terkadang hanya sekedar menanyakan kabar, berbagi cerita dan mengobrolkan hal sepele lainnya, yang tak ada indahnya apabila ku obrolkan bukan dengan Aya, tapi begitu indah tetkal ku obrolkan dengannya. Sampai pada ahirnya, aku lupa tepatnya, aku dan Aya tak lagi memanggil nama masing-masing ketika berbicara dan saling menyapa, aku memanggil dia dengan sebutan Umi, dan dia memanggilku dengan Abi, sungguh, dunia terasa hanya dibuatkan oleh Allah untuk kita berdua. Tetapi kawan, yang perlu kau ketahui, tiada diantara aku dan Aya terlontar kata-kata seperti biasanya dilontarkan pria kepada wanita pujaannya, seperti “aku suka kamu, maukah kamu jadi pacarku?”, atau kata-kata gombal lainnya, hubungan aku dengannya begitu alami, aku dan aya menyatu dengan sendirinya, rasa kami berdua berkumpul dalam hati dengan tanpa polesan apa-apa, begitulah awal kisah Aku dan Aya. Pada suatu ketika aku protes ke Aya, mengenai hal panggilan mesra kita berdua, “rasa-rasanya kalau aku panggil kamu Umi dan kamu panggil aku Abi terlalu tua deh, gimana kalau kamu panggil aku Aa dan aku panggil kamu Ade?” “Oke deh ‘a, ade setuju”. Semenjak itulah kita berdua merajut kisah-kisah indah berdua. Sampai pada saat aku mendapat cobaan terbesar dalam hidupku, ialah yang menjadi pengayom hatiku, cobaan besar itu datang ketika aku baru saja melewati rintangan menjadi santri baru. Ketika sedang terlelap tidur, tiba-tiba kang Kris abdi dalem yang stay di rumah pamanku membangunkan aku, ku kira itu adalah bunga tidurku pada malam itu, ternayata itu memang benar-benar kang Kris, aku langsung duduk terbangun dari tidurku, ku tengok Jam dinding yang terus berputar tanpa lelah, jarumnya menunjukan pukul 02.30 dini hari, “Ayo Ab bangun, Paman kamu ngajakin pulang sekarang”, kata kang Kris dengan nada sedikit terburu-buru “”lho kok Tumben ngajakin pulang jam segini kang, biasanya kan kalo ngga siang ya sore”, jawabku sambil mengucek mataku yang belum mau untuk dibuka itu “ya ngga tahu, udah kamu siap-siap aja” “oke deh kang, Oya kang nanti sekolahnya sampean mintain izin ya!,” “emang ini hari apa?” “Senin,” kataku Aku langsung bergegas menyiapkan barang-barang yang ingin kubawa pulang, “Oya, nanti mobilnya langsung kedepan GOR, kamu tunggu aja disana ya!”, imbuh kang kris sambil keluar dari kamarku Tak beberapa lama kemudian sebuah mobil Carry sudah berada di depan GOR, aku tanpa ragu langsung masuk ke mobil itu setelah dipersilahkan oleh Kang Pai sang supir, aku duduk di kursi bagian belakang, tak ada yang aneh selama perjalanan, disamping karena aku masih terkantuk, juga pada jam-jam itu tak cocok sekali untuk membuat obrolan hangat. Mobil terus melaju, sampai pada pom bensin yang sudah tak jauh lagi dari kediaman ku, pamanku mengajak kita untuk melaksanakan sholat shubuh terlebih dahulu, karena memang waktu shubuh sudah masuk semenjak seperempat jam yang lalu. Seusai sholat shubuh, kami melesat ke Desa tercinta kami, yang hanya butuh dua puluh menit untuk bisa sampai kesana. Aku bingung tak karuan saat mobil sudah terparkir di depan rumah kakekku, tenda hajatan sudah terpasang rapi, kursi-kursi sudah tertata beraturan, “ada acara apa ini?”, gumamku dalam hati, sebentar saja setelah kami turun nenekku bergegas memeluk pamanku sambil menangis berteriak histeris, begitu juga dengan pamanku, semua orang disitu memelukku sambil beruaraian air mata, aku masih tak paham apa yang sebenarnya terjadi, aku sempat mengira bahwa kakekku tercinta telah tiada, namun perkiraan ku salah, setelah aku masuk depan rumah, kakekku memelukku erat-erat, matanya basah, aku semakin tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi disini, ketika ku memasuki ruang tengah, disitulah Ibuku tercinta sedang duduk dikerumunan orang-orang, matanya terlihat lembab karena terlalu banyak menangis, ibuku bangun dan terus meraihku, ku peluk ia, dan kuberanikan bertanya, “ada apa umi?, apa yang terjadi?, kenapa semuanya menangis?”, sambil terisak ibuku menuntunku keruang aula yang berada dibelakang ruang tengah, kulihat telah terbujur kaku mayat yang sudah terbalut kain kafan, ibuku megajak aku mendekat, perasaan ku mulai buyar, jangan-jangan… Ternyata benar, setelah ibuku dibantu oleh paman-pamanku membuka tali sang mayat itu, kulihat wajah ayahku yang sudah tak lagi bernafas, melihat sang ayah yang sudah tak lagi menghembuskan nafas aku langsung menciumnya, kupandangi wajahnya yang pucat, ingin rasanya kutumpahkan seluruh air mata ini, ingin sekali, namun aku tak mau terbawa dalam suasana haru itu, aku tak mau membuat ibu bertambah sedih, aku langsung lari menuju kamar pamanku yang paling bungsu, ku telungkupkan badan ku di kasur berseprei merah tua itu, kuluapkan seluruh perasaan yang ada dihatiku, terbesit dalam ingatanku, kenangan-kenangan indah bersama ayah, kenangngan indah yang takkan kulupa, saat kita jalan-jalan menikmati liburan di alun-alun, saat kita bersama jalan-jalan menghirup udara malam…. Namun semua itu kini tlah hilang, semua itu kini tinggal kenangan. Terbayang pula di benakku saat-saat kenakalanku, kenakalanku itulah yang sering menjengkelkan hati sang ayah, kini aku baru sadar, betapa besarnya jasa beliau, betapa besarnya kesabaran beliau dalam mendidikku. Benar jualah kata sang pepatah: “Kita baru akan merasa memiliki ketika kita kehilangannya”. Sudahlah kawan, aku tak mau membawamu larut dalam lautan kepedihan itu, jikalau ayah mu masih ada, mintalah maaf kepadanya, telfon ia besok pagi, sampaikan rasa terima kasihmu padanya, mintalah maaf yang sebanyak-banyaknya, karena umur siapa yang tahu, berbaktilah kepadanya selagi kau mampu, berbaktilah kepadanya selagi ia masih ada. Disaat cobaan besar itu menimpaku, Aya hadir sebagai pengobat kehilanganku, sebagai penawar rasa sedih hatiku. Kawan, aku tak akan menceritakan padamu saat-saat indah selama kita berada didunia SMP Al-Hikmah, tentunya lembaran-lembaran ini tak cukup sama sekali jika kutuliskan semua itu untuk kuceritakan padamu, misalnya saja saat aku memberinya hadiah Liontin yang didalamnya terdapat foto kita berdua, ataupun saat aku memberinya kenang-kengangan miniatur indah untuk kado ultahnya, dan aku juga tak ingin menceritakan padamu bagaimana Aya saat mendengar kabar bahwa aku positif akan pindah sekolah, betapa harunya suasana pada waktu itu. Kawan, setelah ini aku langsung menajakmu meloncat ke ahir hayat kisah kita berdua yang menyakitkan, perlu ku ulangi, sangat menyakitkan kawan. # Setangkai Kata dari Hati yang Terluka Bumi Al-Hikmah pada hari itu ikut bahagia melihat aku dan teman-teman lainnya menangis haru. Hari itu adalah hari penentuan kami selama menempuh perjalanan selama tiga tahun lamanya; Pengumuman Kelulusan. Ibu, nenek, paman, bibi, adek dan kakakku hadir menyambut hari kelulusanku, sungguh, sungguh indahnya hari itu. Namun juga menyedihkan, karena pada hari itu pula aku harus berpisah dengan teman-teman seperjuangan. Sepulangnya aku dari pondok diiringi dengan barang-barang ku dan koleksi buku-bukuku selama tiga tahun, aku menapakkan kembali kakiku di bumi kelahiranku ini, sudah lama rasanya aku tak lagi menghirup segarnya udara yang pertama kali ku hirup saat aku lahir kedalam dunia ini. Liburan panjang, sebaris kata yang kini terlintas dibenakku, saat itu aku mempunyai waktu senggang sekitar dua bulan, rencanannya aku ingin menghabiskan waktu panjang itu di kampung inggris pare kediri, karena keinginan itu sudah aku impikan semenjak dua tahun yang lalu, aku memplening akan melesat ke pare dua minggu setelah aku aku singgah dirumah. Namun sebelum itu, aku putuskan untuk pergi berlibur ke rumah bibiku di Karawang , yang kebetulan berbatasan dengan Subang , kurang lebih selama dua atau tiga hari aku akan stay disana, tetapi ada sesuatu yang beda, beberapa hari sebelum keberangkatanku ke Karawang setiap kali aku SMS nomor hape Aya, ia selalu tak membalasnya, setiap kali aku telepon tak pernah jua diangkatnya, ada apa sebenarnya??? Apa yang terjadi padanya???, pertanyaan-pertanyaan itu terbesit dalam benakku. Sampai pada waktu aku memutuskan untuk berlibur di Karawang, Aya belum juga membalas SMS ataupun mengangkat teleponku. “Alhamdulillah”, ujarku ketika tiba di Rumah bibiku, saat itu bibiku sedang hamil tua, aku yang baru datang dipersilahkan untuk menempati kamar lantai atas yang sudah dipersiapkan, “waah kebetulan ya Ab kamu maen kesini saat Bibi sedang hamil tua, semoga nanti anak bibi nanti mirip kamu”, kata bibiku sambil mengantarkan minuman dingin untukku, aku hanya membalasnya dengan senyum simpul ku. Malam harinya bertepatan dengan malam minggu, pamanku mengajakku berjalan-jalan mencari makan malam, paman dan bibiku mengendarai Mio Soul yang katanya baru itu, aku dipersilahkan membawa motor gede Bajaj Pulsar kepunyaan pamanku. Aku benar-benar kaget dan tak percaya, ketika Aat teman karib Aya menelponku pada Minggu siang itu, “Ab, Aya menyuruhku untuk menelpon mu, memberitahukan bahwa aya udah ngga bisa bersamamu lagi, Aya sekarang udah punya pacar baru yang rumahnya ngga jauh dari runah Aya, jadi kamu yang sabar aja Ab, mungkin ini jalan yang terbaik untuk kalian berdua”, Gubrak! Remuk sepertinya seluruh tulangku usai mendengar kata-kata dari Aat yang sangat menyayat itu. Aku tak langsung percaya, aku hubungi nomor Aya, sialnya ia mematikan hapenya, aku terperangkap dalam kebingungan, gundah, gelisah, hampa rasanya: Putus Cinta Dibatas Kota. Liburanku tak bisa kunikmati seperti yang ku ingini, ingin rasanya segera aku bergegas pulang dan ku temui si Aya, apa benar kenyataannya seperti apa yang aat sampaikan padaku, ataukah… Senin menjelang siang aku putuskan untuk pulang, pamanku mengntarkanku sampai ke pangkalang bus, tak lama menunggu, datanglah bus dari jakarta yang siap mengantarku sampai tempat yang ku tuju, rumahku. Dijalan perasaanku tak karuan, kau bisa bayangkan kawan, betapa, betapa sakitnya saat orang yang kita cintai melebihi segalanya malah menduakan kita? Tepat pukul 15.00 aku sampai dirumah, tanpa istirahat sedikitpun aku langsung memakai helm dan meyetart motorku, ibuku berkomentar “mau kemana lagi?” Baru dateng udah pergi lagi?”, “Cuma sebentar kok Mi?, jawabku pelan, “ya udah ati-ati ya Ab”. Dengan keadaan yang masih payah, karena jarak dari kawang ke rumahku sekitar tiga jam lamanya, dengan sisa tenagaku ku beranikan diri mendatangi rumah Aya, yang kalau ditempuh dengan sapeda motor sekitar dua puluh lima menitan lamanya, aku tak bermaksud apa-apa, aku hanya ingin menegaskan, apakah yang dikatakan Aat itu benar. Namun, tuhan belum ijinkan aku untuk bertemu dengan Aya, Mamahnya bilang Aya sedari pagi sedang shooping dan Belanja buku di Grage Cirebon, Mamahnya mempersilahkan aku untuk duduk terlebih dahulu, lalu menyuguhiku segelas air dingin, kemudian mempersilahkan ku untuk meminumnya, tak kusadari tanganku bergetr ketika aku memegang gelas itu, disamping karena efek lelah, juga karena kondisi jiwaku saat itu yang sedang tak menentu. Aku pulang dengan perasaan yang masih sama, gundah dan penasaran. Baru ketika ku coba menghubunginya pada malam itu, ia mau mengangkat teleponku, awalnya aku bingung harus ku mulai dari mana pembicaraan ini, kuputuskan untuk langsung menanyainya, apakah benar apa yang dikatakan Aat padaku?, aku sungguh kaget bukan kepalang, saat Aya menjawab dengan tegas, “iya itu benar, aku nyuruh aat untuk ungkapkan itu!”, jawab aya tegas “aku masih belum percaya Ya, tega bener kamu melakukan hal itu, padahal…”, saat aku belum menyelesaikan pembicaraan ku aya langsung memotong “Udah lah putuskan saja aku, karena aku udah punya yang lain selain dirimu!, maafkan aku”, sebelumnya Aya tak pernah sekalipun meninggikan suaranya di depan ku, apalagi memotong pembicaraanku, saat itu aku bagai pohon kering yang disambar petir, aku tak bisa berkata apa-apa, aku tak mampu mejawab sebaris kata terahir darinya, sakit. Ya begitulah ahir perjalanan aku dan Aya kawan, aku yakin kau tak bisa bayangkan, saat aku setia pada seorang wanita, saat itu pula lah aku diduakannya, sudahlah kau tak usah tahu bagaimana perasaanku saat itu, cukup, biarlah hatiku yang merasakannya. Setelah kejadian itu, ia tetap memanggilku dengan panggilan seperti dahulu, Aa, dan bagaimanapun juga aku—yang terluka—tak mau mnyakiti hatinya, ku panggil juga dia dengan Ade, sampai sekarang ini panggilan itu masih tetap berlaku. Dulu ketika kita masih duduk di kelas dua menjelang awal kelas tiga, Aya sering mengrimiku surat, yang isinya menyatakan ia tak pantas untukku, bahkan Pada suatu ketika di sebuah surat Aya menyatakan bahwa Aya bukanlah yang terbaik untukku, Aya menyuruh aku untuk mencari gadis lain yang lebih pantas darinya, namun kawan, apakah Aya tidak tahu, bahwa gadis yang terindah yang pernah merasuk ke relung hatiku adalah dia?. Masih kusimpan carikan-carikan kertas surat yang pernah Aya berikan padaku, kan kutuliskan salah satu saja dari beberapa surat itu, Assalamualaikum Pieh, Aya minta maaf, mungkin aya sering bikin papieh sedih atau marah. aya tau kok papieh cayanx ma aya… aya bisa kok ngerasainnya, tapi, emh… gimana yach… mungkin untuk saat aya belum bisa jadi yang terbaik buat papieh, jadi papieh cari yang laen aja yach… kan banyak yang naksir papieh, cantik2 lagi Wassalamualaikum 4 GET & 4 GIVE ME Itulah sepucuk surat yang pernah aya kirimkan untuk ku, dan akan kutilaskan satu lagi, surat yang terahir kali aya kirimkan kepadaku, surat ini ia berikan setelah ia baru sembuh dari sakitnya, pada saat class meeting semester dua, surat itu masih ku simpan rapi dalam buku diari, Assalamualaikum Before and after aya mo ngucapin berjuta2 makaceeh… aya ga’ tau ngebales’a g5na? Klo s’nyum aya bisa, tapi kalo cinta ga tao? k-lo chayanx, insyaallah aya pasti chayanx, pieh, meskipun aya ga’ jadi pacarnya papieh tp aya chayanx kok ma papieh. Aya janji aya akan jaga hati aya wat papieh…. Wassalamualaikum NB: Aya dah cembuh… Ya, semua janji yang ia tuliskan pada surat-suratnya itu tak ia tepati sendiri, namun walau aku terluka, aku tak pernah membenci aya, bagaimanapun juga, hanya dia yang benar-benar merasuk dalam relung hati dan jiwaku ini. Walaupun ia kini tak lagi mencintai atau merasa memiliki ku, aku kan tetap mencintainya dan aku kan tetap merasa memilikinya, dan biar menjadi abadi, kan ku titipkan cinta ini pada dzat yang maha mencintai, dzat yang cintanya tak terbatasi, Dialah sang Pujangga Cinta Sejati, Allah Ta’ala. Ku teringat sebuah puisi yang ku buat untuknya, ku buat puisi ini pada saat malam kepedihan, malam terkelam dalam sepanjang kehidupan ku, Dalam Pekatnya malam Disaksikan ribuan bintang yang bersinar terang Diantara hembusan angin yang menusuk tulang Ku tengadahkan tanganku untuk berdoa: Tuhan… Janganlah kau ambil bahagia yang ia miliki Aku tak ingin senyumnya Pudar dan aku tak ingin melihatnya sedih Ambil, ambil saja semua yang ku miliki Lalu gantikan dengan kebahagiannya Karena bagiku… Melihatnya bahagia adalah kebahagiaan terindah dalam hidupku. . . *** Waktu-yang ku tunggu-tunggu datang pula menjemputku, aku harus menepati plening ku untuk melangkahkan kaki di kampung inggris pare-kediri-jawa timur sana, dalam pleningku, aku akan tinggal disana sekitar sebulan penuh, setelah itu aku kan kembali kerumah, sebelum mengikuti tes masuk MAK, setelah sungkem dan meminta ridho sang ibu aku langsung bergegas mengayunkan langkah menerjang gelombang, menguatkan hati sekuat karang. Aku masih ingat satu kata dari Aya dalam sebuah suratnya, “jangan jadikan kesedihan sebagai penghalang tapi jadikan ia sebagai pendorong, make your dream come true”. Sekarang kan kuamalkan kata-kata darinya itu. # Siapakah Dia? Sekaranglah saatnya aku bercerita padamu, siapakah sebenarnya gadis yang satu itu, dan semua itu demi memenuhi permintaanmu. Ima namanya, sungguh aku baru saja sekali aku bertemu langsung dengannya, pertama kali aku mengenalinya hanya lewat Facebook saja, di Facebook itu pula lah kita berkenalan. Rasa-rasanya kawan, aku tak perlu menceritakan dari awal pertemuan aku dan Ima dengan detail sedetail-detailnya, disini aku hanya ingin meyakinkanmu, “sebenarnya siapa dia?” Pertama kali kita berkenalan pada saat liburan Ramadhan, setelah berkenalan dan bercakap-cakap lewat Facebook, obrolan kita lanjutkan via SMS, sesekali lewat telepon. Perputaran waktu terus melaju, sampai ahirnya kita berdua kenal cukup dekat, beberapa bulan setelah kembali ke pondok Ima ahirnya memutuskan untuk pindah ke pondok yang lebih dekat dari rumahnya, alasan yang terkuat, karena kesehatannya, karena sekembalinya dari liburan ramadhan sudah beberapa kali ia bolak-balik ke rumah sakit, katanya penyakit typus telah menyerangnya. Aku juga agak sedikit kehilangan saat ia putuskan tuk pindah dari al-Hikmah, tapi tak ada opsi lain yang harus dipilihnya, beberapa hari setelah kepulangannya, aku tak sengaja mengecek inbox Facebook ku, ada sebuah pesan singkat dari Ima untuk ku, “Ab kalau ada waktu tolong hubungi nomor ini ya, 0853208393*** ” Kucatat nomor itu. Tepat sehari setelah ku terima pesan itu, aku datangi kamar Ma’had Aly untuk meminjam hape pada salah satu teman yang juga kakak kelas ku dulu, ku coba tuk hubungi nomor itu, tak beberapa lama setelah tut…tut…tut… terdengar suara yang tak asing lagi di telingaku, “Halo. . . Assalamualaikum” sapanya ramah “Waalaikumsalam” balasku Setelah itu ku teruskan dengan obrolan-obrolan ringan pencair suasana, obrolan kita selalu dihiasa canda dan tawa, sesekali ku ejek dia, dan terkadang ia balas mengejek. Ketika samapai pada ahir pembicaraan, Ima mengatakan sesuatu yang tak kuduga sebelumnya, sepanjang perkenalan kita, tak pernah ia seserius ini, “Ab, aku mo ngomong sesuatu”, ujarnya dengan nada rendah “ngomong apa?, tumben serius banget?”, jawabku setengah meledek “ Ima serius nih, tapi ima takut buat ngomonginnya” “ga usah pake takut segala atuh, diomongin aja” “ Ima takut kalo nanti Ima ungkapin tapi nanti malah bertepuk sebelah tangan” Fiiiuuuuh. . . sama sekali tak terduga dibenakku sebelumnya, tetapi dari caranya berbicara aku sudah tahu kalau Ima bakalan mengungkapkan isi hatinya, aku tak tahu harus bagaimana, ku jawab kata-katanya dengan hati hampa, sama sekali tanpa rasa cinta, “ udah ma, aku ngga mau ada ungkapan-ungkapan gombal seperti; “aku cinta kamu” atau “mau ngga kamu jadi pacar aku”, aku ngga mau ma, sudahlah kalau memang kita ditakdirkan tuk bersama, pastilah kita kan dipertemukan jua, suatu saat nanti”. Jujur saja kawan, ketika aku ungkapkan kata-kata itu padanya, aku yakin itu tak bersumber dari dalam hatiku, aku hanya ingin tak membuatnya kecewa, tetapi disisi lain sosok Aya masih saja hadir dalam relung kehidupanku, Ima tak cukup untuk bisa menggantikan Aya. Sampai saat ini hubungan aku dan Ima hanya sebatas itu, dan aku tak mau lebih dari itu. Adapun kalau aku pernah memintamu untuk memanggilnya untuk mendatangi ruang redaksi setelah liburan ramadhan, saat itu aku hanya memberi dia beberapa buah mangga, karena ketika liburan Ima memintaku untuk membawakannya, dan itu bukanlah hal yang istimewa, jikalau kau kawan saat liburan nanti memintaku untuk membawakanmu sekantong pelastik buah mangga, pasti aku akan membawakannya untukmu J. Walaupun aku sering menunjuk foto dia yang berada di depan ruang redaksi, itu bukan karena apa-apa, aku hanya kagum dengan parasnya, tapi kalau kau tanyai aku, apakah aku mencintainya?, jawabannya: sama sekali tidak!.

KUGAPAI MIMPI DI PESANTREN

KUGAPAI MIMPI DI PESANTREN Jariku menunjuk nama demi nama di papan pengumuman. Aku sangat berharap namaku ada diantara siswa yang beruntung itu. Jantungku berdegup kencang dan keringat dingin membasahi sela-sela jari. Jari ini bergerak dari satu kertas ke kertas lainnya. Hingga jari ini berhenti dan menunjuk sebuah nama. Ghazi Muhammad Al-Fatih. “Alhamdulillah ya Allah aku diterima” ucapku dengan rasa syukur yang tak terkira. Aku diterima di SMA Internasional yang tersohor di Jakarta dengan jalur beasiswa. Angkot yang aku tumpangi tak terasa panas hari ini, keringat ibu-ibu yang pulang dari pasarpun tercium wangi. Aku sudah tak sabar ingin sampai di rumah dan mengabarkan keberhasilanku ini kepada Ibu. Baru kali ini aku dapat membuat mereka bangga. Tentunya dengan beasiswa yang kuterima ini, Ayah tak harus memikirkan beban biaya sekolahku nanti. *** “Kenapa tidak boleh Ayah?” kataku dengan mengiba. Aku ingin tahu kenapa Ayah tak mengizinkanku bersekolah di SMA Internasional. “Ayah ingin kamu tetap bersekolah di Pondok Pesanten?” ujar Ayah dengan menepuk-nepuk pundakku. “Tapi Ayah, aku sudah dapat beasiswa, jadi Ayah tak perlu memikirkan biaya sekolahku lagi” kataku dengan sedikit memaksa. “Anakku, dengarkanlah Ayah, meskipun Ayahmu ini kerjanya serabutan, kadang bekerja kadang nganggur tapi Ayah masih mampu membiayaimu sekolah. Ayah akan mencari tambahan pekerjaan agar dapat mencukupi hidupmu di pondok pesantren” ujar ayah meyakinkanku. “Dari mana uangnya? Saat ini biaya di pondok pesanten sangat mahal!” “Dari Allah!” ujar Ayah sembari meninggalkanku menuju ke samping rumah. Jawaban Ayah tadi membuatku tersentak. Aku terpaku tak hentinya memikirkan ucapan beliau. Aku hanya tak ingin menjadi beban beliau. Kini beliau sudah mulai menua, uban putih sudah memenuhi kepalanya, sepertinya ia sudah tak kuat untuk mencangkul lebih lama lagi. “Ya Allah, luluhkanlah hati Ayahku?” kataku perlahan, tiba-tiba Ibu merangkulku dari belakang dan menciumku sangat lama. “Fatih, Ayahmu benar. Allah akan mencukupinya. Turutilah Ayahmu, Nak” kata Ibu dengan suara lembutnya. Akupun hanya membisu, tak tahu harus berkata apa. “Fatih, apa kamu mendengar ucapan Ibu?” ujar ibu padaku “Iya Bu, Fatih mendengarnya. Baiklah Bu, Fatih akan menuruti perkataan Ayah. Fatih akan meneruskan ke Pondok Pesantren” akupun berlalu meninggalkan Ibu seorang diri. “Ya Allah, semoga melepas beasiswa di SMA Internasional merupakan keputusan yang benar, dan semoga aku tak menyesalinya kelak…”. *** Hari ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di pondok pesanten ini. Aku kebingungan, mata ini tak henti-hentinya memandangi tembok-tembok tinggi di pesantren. Tembok itu terasa sangat dingin padaku. Semakin kupandang semakin membuatku merasa kecil dan asing. “Ya..Allah, mudahkan aku dalam menuntut ilmu” bisikku sembari mencari tempat istirahat. “Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di masjid ”kataku sambil membuka sepatu. Kemudian terlihat seseorang laki-laki berjenggot mendekatiku. “Akhi, antum santri baru ya? Namanya siapa?” katanya sambil mengulurkan tangan padaku. “Oh..iya mas. Saya Ghazi Muhammad Al-Fatih mas, panggil aja Fatih” “Aku Irsyad. Satu tahun diatasmu. Semoga nanti betah di pesantren” “Iya mas, amin. Permisi mas, mau ambil wudhu dulu” “Oh…iya silahkan” Akupun bergegas mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat ashar berjamaah. Seusai sholat tak lupa aku memanjatkan doa untuk kedua orang tuaku. Entah kenapa baru sehari saja meninggalkan rumah aku sudah ingin segera kembali. Saat itu aku teringat pesan Ayah ketika aku hendak berangkat ke Pesantren.”Fatih, jaga dirimu baik-baik di pesantren. Hafalkan Al-Quran. Nak. Ayah ingin melihat kamu menjadi orang yang berilmu dan mulia. Kemudian terbayang pula wajah teduh Ibu yang sangat menyayangiku.”Anakku,Ibu mencintaimu karena Allah” . *** Setelah satu bulan di pondok pesantren… Awal hidup di pesantren memang tak semudah yang aku bayangkan. Aktivitas dari bangun pagi hingga kembali tidur sudah diatur di selembar kertas yang ditempel di dinding kamar masing-masing. Ketika jam tiga pagi, sudah ada pendamping yang siap meneriaki kami untuk segera bangun untuk melaksanakan shalat tahajud. Setelah itu kami harus menghafalkan Al-Quran sembari menunggu adzan subuh tiba “Sudah hafal berapa juz dik?” kata mas Rasyid padaku. “Waduh mas, masih sedikit. Masih tiga juz mas” kataku nyengir. “Alhamdulillah, terus semangat! Allah menyukai orang-orang yang dekat dengan Al-Quran. Tapi Dek, sudah coba menguji hafalmu kan?” ujar mas Rasyid menambahi perkataanya. “Sudah mas, sudah saya setor ke Ustadz. Beres lahh…” “Hahaha, kamu lucu sekali. Bukan itu maksudnya Fatih! Begini, maksud kakak, cobalah kamu gunakan hafalanmu ketika shalat sunnah. Perpanjanglah bacaan dengan surat-surat yang sudah kamu hafal” ujar mas Rasyid sembari meninggalkanku. “Oo begitu…baikklah mas, akan Fatih coba. Sukran Mas!” teriakku pada mas Rasyid yang telah berlalu. Akupun mencoba saran dari Mas Rasyid untuk menggunakan hafalan dalam shalat sunnahku. Subhanallah, ternyata yang tadinya hafal menjadi terbata-bata ketika digunakan saat shalat. *** “Ayah sehat Bu?” tanyaku kepada Ibu lewat telepon. “Alhamdulillah nak, semua sehat. Fatih, maaf bulan ini kami tidak bisa mengirimi uang yang cukup buatmu. Sementara pakai itu dulu ya nak. Insya Allah jika ada rezeki lagi akan Ibu kirim uangnya” ujar Ibu. “Iya Bu, tidak apa-apa. Insya Allah ini cukup Bu” kataku pada Ibu agar ia tak terlalu mecemaskanku. “Bagaimana hafalanmu Nak? Sudah dapat berapa juz?” “Sudah lima juz Bu” “Semoga Allah memudahkanmu dalam menuntut ilmu. Ibu dan Ayah hanya dapat mendoakanmu dari jauh. Tadi ayahmu titip pesan Nak, meskipun dalam kesempitan jalan lupa bershodaqoh. Ya sudah, ibu tutup dulu teleponnya. Wassalamualaikum..” “Waalaikumsalam...” Rasa rindu kepada orang tua sedikit terobati dengan telepon tadi. Setelah enam bulan lebih aku dipondok, ini bukan pertama kalinya mereka tidak bisa mengirim uang yang cukup untukku. Beberapa kali aku harus bersabar karena tidak ada uang sepeserpun di kantong. Aku pegang sisa-sisa uang yang kupunyai. Agar tak terlupa, uang untuk shadaqoh segaja aku sisihkan dari dompetku. Ayah mengajarkanku sejak kecil bahwa ada hak-hak orang lain di dalam uang yang kita miliki. “Aku lelah sekali! “kataku sembari merebahkan badanku ke dipan dan berharap agar segera bisa tertidur. Malampun berganti, kokok ayam jantan mulai terdengar satu per satu. Suara kicauan burung pipit juga ikut meramaikan sunyinya subuh pagi ini. Sebelum suara adzan berkumandang, segera aku selesaikan makan sahurku. “Ya Allah, aku berniat berpuasa daud. Kuatkanlah tubuhku hinga sore hari. Amin. Saat uang menipis, biasanya aku menjadi sangat rajin untuk berpuasa. Semoga itu tak mengurangi ensensi puasa” gumamku dalam hati. Dengan semangat berjuang untuk mencari Ilmu Agama kulangkahkan kaki menuju gedung madrasah. Pagi ini sinar matahari nampak cerah. Kulihat ribuan santri berduyun-duyun menuju kelas. Namun langkahku terhenti ketika tepat berada di depan papan pengumuman. Dalam pengumuman itu tertera bahwa lusa akan diadakan seleksi pertukaran pelajar ke Mesir. “Aku harus ikut!” kataku sambil menulis persyaratan-persyaratan yang harus aku lengkapi. Saat itu pula aku segera berlari ke kantor untuk meminjam telepon. Aku akan meminta izin dan mohon doa pada kedua orang tuaku. *** “Fatih, bagaimana hasilnya?” tanya Ayah padaku.” “Aku lolos. Ayah, aku tidak menyangka akan terpilih” “Alhamdulillah ya Allah.Selamat ya Fatih. Anakku, yang perlu kamu ingat Nak, kamu lolos itu karena Allah, bukan karena kepandaian dan kemampuanmu” ujar Ayah padaku. “Iya, Fatih mengerti” “Oh iya Nak, Ibumu seminggu ini tak henti-hentinya mendoakanmu. Ia selalu bangun untuk shalat tahajud. “Sampaikan terimaksih Fatih pada Ibu” kataku pelan sambil berusaha menahan air mata. “Fatih, mengapa suaramu terdengar tak bersemangat. Apa ada yang kamu pikirkan nak?” tanya Ayah kepadaku. “Ayah, ada biaya administrasi yang harus dipenuhi. Sepertinya aku tak usah berangkat saja ke Mesir. Biayanya mahal…” “Berapa nak?” “12 juta” “Berangkat saja! Sudah nak, kamu ga usah mikirin biaya. Biar Ayah saja yang urus. Karena Allah telah memberimu kesempatan untuk mencari ilmu di Mesir, tentunya Allah pula yang akan membiayai dan mencukupi pendidikanmu disana. Yakini itu Nak, janji Allah itu pasti!” kata Ayah meyakinkanku. Hatiku bergetar tiada henti. Sungguh aku dapat merasakan kenikmatan dari ucapan Ayahku, ucapannya begitu teduh dan penuh dengan keyakinan pada Allah. “Terimakasih Ayah…” *** Saat ini aku berada dalam pesawat terbang menuju Mesir. Hatiku sangat bahagia. Aku bahagia karena orang tuaku memiliki rasa cinta pada Allah yang begitu besar. Benar kata Ayah. Allah akan mencukupinya. Subhanallah, semua biayaku ke Mesir bukan berasal dari kantong Ayahku, namun dari beberapa teman Ayah dan ustadz-ustadz di daerahku yang menginfaqkan hartanya untuk memudahkan orang yang menuntut ilmu agama. Ternyata, percaya pada Allah itu lebih dari cukup. Percayalah pada Allah maka keajaiban-keajaiban akan terjadi pada kehidupanmu ….”Allahu Akbar…!!” -------------Bersambung---------------

Kisah Cinta Seorang Santri

Kisah Cinta Seorang Santri Ku biarkan jemari lentik ku menari-nari diatas keyboard notebook putih ini, kubiarkan ia terus menari, hingga b...